Jumat, 05 Oktober 2012

Transmisi Budaya dan Biologis


Pada kebudayaan kita mengenal istilah transmisi lintas budaya, pengertian dari transmisi budaya itu sendiri merupakan bentuk-bentuk simbolik disampaikan dan merupakan fenomena sosial yang dalam prosesnya melibatkan seperangkat karakteristik, yaitu media teknikal, perangkat institusi, dan jarak-waktu.

Jenis-jenis transmisi budaya yaitu :

1. Transmisi Vertical

→ General Acculturation

Dari orang yang lebih tua/orang tua, pada budaya sendiri (intra) informal

→ Specific Socialization

Peristiwa yang disengaja, terarah dan sistematis

2. Oblique Transmision

Dari orang dewasa lain, yang budayanya sama (enkulturasi/ sosialisasi) dari orang yang budayanya beda (akulturasi/ resosialisasi)

→ General Aculturation

Orang dewasa yang budayanya sama Anak meniru sopan-santun orang dewasa

→ Specific Socialization,

→ General Acculturation

Orang dewasa yang berbudaya beda

→ Specific resocialization

3. Horizontal Transmision

→ General Enculturation

Dari teman sebaya pada budaya yang sama

→ Specific Socialization



Ketiga bentuk transmisi budaya melibatkan dua proses:

→ enkulturasi: yang "pembungkusan" individu oleh budaya mereka, yang mengarah ke penggabungan perilaku yang sesuai ke dalam repertoar mereka

→ Sosialisasi: lebih instruksi spesifik dan pelatihan, kembali memimpin dengan perolehan budaya yang sesuai dengan perilaku.



Enkulturasi

Enkulturasi adalah Proses penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama hidup seseorang individu dimulai dari insttitusi keluarga terutama tokoh ibu. Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

Enkulturasi ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, yaitu perkembangan seseorang untuk tumbuh kembang dipengaruhi oleh proses kultur atau budaya yang di transmisikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dengan proses belajar.

akulturasi

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.

Akulturasi memiliki pengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, yaitu berubahnya kultur seseorang yang terjadi karena pengaruh asing. Hal itu terjadi karena adanya proses sosial dimana sesama manusia saling mempelajari kultur yang ada dalam lingkungan asing tersebut.

Sosialisasi
Sosialisai adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.

Sosialisasi memiliki penagruh terhadap perkembangan psikologis anak, yaitu kehidupan seorang manusia yang terus berjalan mempengaruhi bagaimana proses penanaman kebiasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya itu terjadi sehingga sosialisasi mempengaruhi peranan seorang individu dalam suatu kelompok masyarakat.

Masa awal perkembangan anak

Masa anak-anak adalah periode yang penuh perubahan dan fluktuasi serta lebih banyak mendapat pengaruh kultural dan lingkungan dibanding dengan periode-periode yang lain. Diseluruh dunia, orang melewati masa anak-anak dengan harapan bisa menjadi orang dewasa yang bahagia dan produktif. Namun arti persis bahagia dan produktif akan berbeda-beda dari satu budaya ke budaya yang lain. Tiap kebudayaan memiliki pengetahuan dan kompetensi-kompetensi dewasa apa saja yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara memadai (Ogbu, 1981). Kompetensi-kompetensi ini berbeda-beda antarbudaya dan lingkungan, dan anak-anak tersosialisasi dalam ekologi-ekologi yang mendorong berkembangannya kompetensi tertentu (Harrison, Wilson, Pine, Chan,& Buriel, 1990)



Keletan (attachment) pada ibu atau pengasuh

Kelekatan atau attachment adalah ikatan khusus yang berkembang antara bayi dan pengasuhnya. Ainworth, Blehar, Waters, dan Wall (1978) membedakan tiga gaya kelekatan: aman (secure) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu yang hangat dan responsif, menghindar (avoidant) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu instrusif (terlalu mencampuri) dan terlalu menstimulasi, dan ambivalen yaitu bayi yang merespon ibu mereka secara tidak pasti berubah-ubah dari mencari dan menolak perhatian ibu ini biasanya terjadi pada bayi yang memiliki ibu tidak sensitif dan kurang terlibat dengan anaknya.

Kelekatan ini mendasari konsep kepercayaan dasar (basic trust). Erikson (1963) menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam proses perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup.

Masing-masing budaya punya konsep kelekatan yang ideal yang berbeda. Misalnya ibu-ibu di Jerman menganggap penting dan mendorong kemandirian lebih dini dan karena itu menganggap kelekatan menghindar sebagai yang lebih ideal. Orang tua Jerman memandang anak-anak yang lekat secara aman sebagai anak yang dimanja (Grossmann, Grossmann, Spangler, Suess, & Unzner, 1985). Dianatara anak-anak Istrael yang dibesarkan di kibbutz (tanah pertanian kolektif) separuhnya menunjukkan kelekatan ambivalen yang cemas dan hanya sepertiga yang tampaknya lekat secara aman (Sagi, dkk.,1985). Anak-anak yang dibesarkan dikeluarga Jepang trdisional juga dicirikan oleh tingginya kelekatan ambivalen yang cemas, tanpa adanya kelekatan menghindar (Miyake, Chen, & Campos, 1985). Ibu-ibu tradisional ini jarang meninggalkan anak-anak mereka dan mendorong terbentuknya rasa ketergantungan yang tinggi pada anak-anak mereka. Hal ini mendukung loyalitas keluarga yang secara kultural dipandang ideal. Di keluarga-keluarga Jepang non-tradisional dimana para ibu mungkin memiliki karir, pola kelekatan yang ditemui mirip dengan yang ada di Amerika Serikat.

Beberapa penelitian lintas budaya juga menantang pemahaman bahwa kedekatan dengan ibu merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat hal ini diperkuat dengan teori-teori tradisional Amerika. Tapi tidak demikian dengan sebuah suku perambah hutan di Afrika yang dikenal sebagai suku Efe yang menunjukkan sebuah situasi yang amat berbeda dengan apa yang diterima para ahli psikologis sebagai bagian dari kelekatan yang sehat (Tronick, Morelli, Ivey, 1992). Bayi-bayi efe menghabiskan banyak waktu tidak berada dekat dengan ibu dan diasuh oleh beberapa orang. Mereka selalu berada dalam jangkauan pendengaran dan penglihatan sekitar sepuluh orang. Mereka punya ikatan emosional yang dekat dengan banyak orang lain selain ibunya dan menghabiskan hanya sedikit waktu dengan ayahnya. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak ini sehat secara emosi meski memiliki banyak pengasuh. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam setiap kebudayaan dalam hal kelekatan anak dengan pengasuhnya.



REFRENSI :

http://re-searchengines.com/agusruslan30-5.html

http://id.scribd.com/doc/68996864/TRANSMISI-BUDAYA

http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya

http://antropolis.files.wordpress.com/2007/10/cross-culturelepsychologie.doc http://solo-institute.org/2012/02/psikologi-perkembangan-dalam-perspektif-lintas-budaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar